Orenji,
si pohon jeruk sedang bersedih. Wajahnya murung. Dedaunan di dahannya merunduk
seperti ikut merasa gundah gulana. Udara sejuk di kaki pegunungan tak mampu
menepis raut muram. Senyum ceria yang biasa terukir, sekarang lenyap.
Kedua sahabatnya, Mounty si gunung hijau, dan Kloudi si awan putih, memperhatikan kegalauan Orenji. Setiap hari mereka sering berbagi cerita dan pengalaman. Canda tawa ketiga sahabat ini kerap membuat suasana pegunungan meriah.
Namun, sekarang berbeda. Lembah itu sunyi dan
lengang karena Orenji bungkam dengan air muka murung.
“Hai,
kami belum mendengar sapaanmu pagi ini.”
Kloudi memandang si pohon jeruk penasaran. “Kok, diam saja?”
“Aku
agak cemas sekarang.” Orenji menunduk.
“Kenapa?” Mounty khawatir.
“Kami
para pohon jeruk mulai bingung.” Orenji
menghela napas sambil memandangi daun-daunnya. “Tanah tempat kami tumbuh selama
bertahun-tahun sudah tidak subur.
Buah-buahan yang dihasilkan terus berkurang. Bahkan, hama pun ikut
merusak pepohonan.”
“Sabarlah,
Orenji,” hibur Mounty. “Aku melihat Pak
Tani sering menyemprot pohon-pohon jeruk dengan obat anti hama. Mereka juga
rutin memberikan pupuk. Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja.”
Kloudi
menimpali. “Benar, aku juga rutin menyiram lahan dengan air hujan agar tanah
tetap subur. Nanti kalian pasti berbuah
banyak lagi.”
Orenji
mengangguk pelan. “Aku harap demikian.”
Namun, beberapa hari kemudian terjadi peristiwa mengejutkan. Tiba-tiba Mounty, si gunung, terbatuk-batuk. Berbeda dengan manusia yang batuk dari mulut, kalau gunung batuk maka dari kepalanya keluar asap.
Tanah di sekitar Mounty juga ikut bergetar seperti gempa bumi. Penduduk yang tinggal di sekelilingnya
ketakutan. Menurut mereka, Mounty meletus.
“Kamu
kenapa pula?” tanya Kloudi bingung.
“Uhuk
...! Uhuk ...! Tenggorokanku gatal!” Mounty
mengeluh dengan suara parau.
Warga
di kaki gunung panik dan bergegas mengungsi. Mereka segera menyelamatkan diri
ke tempat aman. Udara di sekitar pegunungan yang biasanya sejuk sekarang menjadi
panas. Abu berhamburan di udara menutupi pepohonan. Sejauh mata memandang hanya
tampak dedaunan memutih.
Penduduk
semakin panik melihat batu-batu berhamburan dari kepala Mounty. Asap gelap mulai
menutupi langit di atas gunung. Sementara, suara batuknya sangat keras seperti
ledakan. Situasi di lereng gunung sangat mencekam.
“Hentikan
batukmu!” Dari langit, Kloudi berteriak
kesal. Abu yang dikeluarkan Mounty
mengganggu pandangannya. “Kamu membuat
penduduk ketakutan.”
“Kamu
juga membuat daun-daunku memutih gara-gara debu!” Orenji memandang sekujur pohonnya yang seperti ditutupi salju.
Dengan
wajah merah padam Mounty menjawab. “Aku pun ingin berhenti. Kepalaku pusing
karena batuk terus. Uhuk ...! Uhuk ...!
Tapi enggak bisa!”
Kloudi dan Orenji cemas melihat keadaan semakin kacau. Pepohonan yang tumbuh sekitar puncak gunung mulai mengering karena terpapar debu panas. Langit gelap dan suasana pegunungan lengang.
Penduduk yang biasa berseliweran di lereng dan
lembah, memilih menghindari Mounty. Daerah yang dulu memukau dengan keindahan alam,
kini kelam tertutup asap.
Namun, keduanya enggan menyalahkan Mounty. Teman mereka pun tidak mau sakit dan terbatuk-batuk tanpa henti. Mounty sudah berusaha dengan berbagai cara untuk menahan batuk, tapi dia tidak mampu.
Asap dari kepalanya terus berhamburan.
Wajahnya sampai kuyu menahan tenggorokan yang pedih dan gatal.
Sahabatnya, Kloudi, tidak tinggal diam. Dengan mengajak kawan-kawannya, Kloudi rajin menyiramkan hujan untuk membersihkan debu yang berhamburan.
Orenji berterima
kasih dengan upaya Kloudi karena abu di daunnya mulai luntur. Walaupun bingung
melihat peristiwa ini, pohon jeruk itu tetap memberi semangat agar Mounty
segera pulih.
Akhirnya, batuk Mounty berhenti beberapa hari kemudian. Udara mulai bersih dari abu. Penduduk berdatangan kembali ke pemukiman yang sempat ditinggalkan. Cuaca telah cerah seperti sediakala.
Dedaunan menghijau karena sering diguyur
air hujan. Keindahan pegunungan mulai pulih. Kloudi dan Orenji senang karena
teman mereka telah sembuh dari batuk.
Waktu
pun terus bergulir dan semua kembali beraktivitas seperti sediakala. Namun, Orenji
melihat ada yang berbeda dengan pepohonan di sekitar pegunungan.
“Kalian
tahu, pohon-pohon jeruk mulai berbuah lebat kembali. Tumbuhan lain pun ikut
subur lagi. Hama sudah lenyap!” Teriak Orenji
riang pada kedua sahabatnya. “Kok bisa, ya?”
Saat
Orenji dan Mounty terperangah, Kloudi manggut-manggut sambil tersenyum.
“Waktu
berkelana ke daerah seberang, aku mendengar petani bercerita kalau abu dari
gunung bisa membuat tanah subur. Hawa panas kemarin pun ikut memusnahkan
hama.” Kloudi menjelaskan.
“Benar,
nih?” tanya Mounty dengan wajah
berseri. “Jadi, aku sudah menolong Orenji
dan tumbuhan lain?”
Kloudi
mengangguk. “Debu yang keluar menjadi pupuk alami untuk menyuburkan mereka.”
Orenji
terperanjat, tapi kemudian melambaikan dedaunannya riang pada Mounty. “Terima
kasih sudah menolongku.”
Si
gunung ikut tersenyum bahagia. Akhirnya, keceriaan kembali menyebar di sana.
Komentar
Posting Komentar