Fiko, si angin, telah berkelana melewati banyak daerah. Dia sudah melihat berbagai tempat menarik. Ada desa peri yang indah atau si mungil kota liliput. Fiko sering memperhatikan para penghuninya. Dia senang apabila menemukan penduduk yang rajin dan mau menolong teman.
Hari ini Fiko teringat pada Dudi Kurcaci. Dulu dia sering memperhatikan anak yang baik dan tekun itu. Sudah lama Fiko tak mengunjunginya di desa Kurcaci. Sedang mengerjakan apa dia saat ini? Si angin segera berhembus menuju ke sana. Dia ingin mengetahui bagaimana keadaan Dudi sekarang.
Sesampai di desa Kurcaci, Fiko melihat Dudi sedang menyapu dedaunan di halaman Pak Doni Kurcaci. Rupanya, selama liburan, anak kurcaci itu membersihkan rumah Pak Doni. Dudi rutin mengerjakannya pada hari libur. Dari kegiatan tersebut tentu saja Dudi mendapat uang saku. Lumayan juga untuk menambah tabungan.
Sambil menyapu, Dudi memandangi pohon mangga yang sedang berbuah banyak dengan mata berbinar. Buahnya rimbun kehijauan dan berkilauan diterpa sinar matahari. Dulu, Dudi pernah mencicipi mangga ini. Dia tidak akan menolak kalau ditawarkan kembali.
“Pak, boleh kuambil buah mangga ini?” Dia bertanya pada Pak Doni yang sedang membaca buku di teras.
Wajah Pak Doni tampak cemberut. Fiko tahu, dia jarang mau membagikan mangga. Pak Doni hanya menyimpan untuk dirinya sendiri. Si angin heran, apa dia tidak bosan melahap mangga dalam jumlah yang banyak?
“Boleh saja, tapi ada syaratnya,” jawab Pak Doni. “Jangan memanjat pohon. Nanti kamu terpeleset dan terluka. Tunggu saja sampai buahnya berjatuhan sendiri.”
“Tapi, kita tak tahu kapan buahnya jatuh, Pak,” kata Dudi dengan wajah memelas.
“Berarti kamu sebaiknya sabar menunggu,” ucap Pak Doni dengan raut muka tenang.
Huh, Fiko mendengus karena kesal. Dia tahu itu hanya cara Pak Doni untuk menolak permintaan Dudi. Bisa saja sebelum Dudi datang bekerja, Pak Doni mengambil mangga yang berjatuhan. Hmm, Pak Doni harus diajak berbagi dan Fiko punya ide untuk menolong Dudi.
Wuff! Wuff! Fiko bertiup kencang. Dahan pohon mangga melambai-lambai mengikuti tiupan angin. Semakin lama, hembusan angin itu semakin kuat. Dahannya tak mampu lagi menahan buah-buah yang berukuran besar. Buk! Buk ! Buk! Beberapa buah mangga mulai berjatuhan.
“Pak, ada mangga jatuh!” Dudi berteriak riang. Dia mulai mengutip mangga-mangga yang berserakan di tanah. “Satu, dua, tiga ... empat! Ada empat, Pak! ”
“Mangga itu belum cukup matang, Dudi. Apa kamu mau memakannya sekarang?” tanya Pak Doni.
“Tidak dimakan sekarang, Pak, tunggu sampai matang. Kata Ibuku, supaya cepat matang mangga harus disimpan di tempat beras,” ujar Dudi.
Pak Doni hanya terdiam mendengarnya.
“Jadi, boleh kubawa pulang mangga-mangga ini, Pak? Nanti sampai di rumah langsung kutaruh di tempat beras kami,” pinta Dudi.
Pak Doni menghela nafas, tapi kemudian ia mengangguk. “Ambillah, mangga itu memang untukmu.”
“Terima kasih, Pak,” ujar Dudi riang dan langsung memasukkan semua mangga ke tas yang sering dibawanya.
Fiko tersenyum melihat pemandangan tersebut. Akhirnya, Pak Doni mau juga memberi mangga. Dudi pun senang bisa memperoleh yang diinginkan. Tidak sia-sia Fiko menolong anak kurcaci itu.
Si angin segera berhembus menuju kota seberang. Dia berharap, setelah ini Pak Doni mau berbagi dengan kurcaci-kurcaci lain.
Komentar
Posting Komentar