Menunggu memang membosankan. Karena itu, Milly sering menghindar kalau disuruh menunggu. Anehnya, dia lebih sering menunggu daripada cepat memperoleh keinginannya.
Seperti hari ini, wajahnya muram menyimpan kekesalan. Tadi Mama menelepon dari luar kota hanya untuk memberi kabar yang membuatnya kesal. Kepulangan Papa Mama ditunda dua hari lagi. Artinya, akhir pekan terlewat tanpa acara berwisata.
Di rumah memang ada Tante Kania, adik Papa, yang datang untuk menemani. Namun, Milly tetap ingin orangtuanya cepat pulang.
“Tapi, sudah janji pulang hari ini,” tangis Milly hampir pecah. Ponsel Tante Kania di tangan terasa dingin, sedingin kesedihannya. “Terus, besok kita mau jalan-jalan.”
“Sabar ya, Milly,” bujuk Mama dari seberang telepon. “Mendadak besok ada tambahan acara. Tunggu saja di rumah dengan Tante Kania.”
Mendengar kabar dari Mama, Milly sudah membayangkan dua hari yang membosankan. Dia hanya berdua dengan Tante Kania menonton televisi. Apalagi Mama sudah berpesan, agar Milly jangan sembarangan keluar rumah. Andaikan kemarin tidak ada ujian di sekolah, pasti dia sudah ikut.
Milly menatap ponsel Tante di tangannya. Seperti anak-anak lain, dia juga sering memakai ponsel. Tante Kania memang mengizinkan Milly menggunakannya. Dulu, Milly senang karena ada yang pengisi waktu luang. Namun, hanya di rumah saja sambil bermain ponsel terus, akhirnya bosan juga.
Mendadak dia rindu Papa Mama. Selama ini, ponsel selalu menyenangkan untuk Milly. Berbagai foto, video, dan cerita-cerita di media sosial menarik perhatiannya. Akan tetapi, ponsel tak bisa diajak mengobrol dan berbagi cerita. Kalau saja orang tuanya cepat pulang, Milly senang sekali. Walaupun tanpa ponsel, dia mau tetap duduk manis di pangkuan Papa Mama.
Sekarang Milly duduk di teras rumah. Kalau saja waktu bisa dipercepat, dia pasti mau melompat dua hari ke depan. Milly rindu bertemu orang tuanya untuk mengobrol, serta berbagi cerita tentang kejadian di sekolah. Mama pasti senang mendengar kalau dia bisa menjawab soal ujian tadi.
“Hai, melamun!” Tiba-tiba ada suara yang mengusik. Ternyata Dita, tetangganya, sudah berdiri di gerbang. “Daripada melamun di rumah, lebih baik ikut aku saja.”
“Aku tidak melamun, kok,” jawab Milly malu karena ketahuan. “Mau kemana panas terik begini?”
“Adalah rencanaku.” Dita menjawab penuh rahasia. “Ayolah, pasti seru.”
Milly berpikir sejenak. Dia ingat seminggu yang lalu, Dita juga mengajaknya ke suatu tempat. Ternyata diam-diam temannya itu mau mencuri singkong di kebun orang. Milly menolak dan langsung pulang. Kalau ketahuan, pasti mereka kena marah. Dia tak mau dihukum Papa Mama karena kebandelan Dita.
“Aku di rumah saja,” Milly menggeleng.
Dia takut juga kalau Dita mengajaknya berbuat onar lagi. Milly sering melihat Dita dimarahi orangtuanya. Dia tak mau mengalami nasib yang sama. Apalagi kalau Tante Kania memberitahu jika Milly keluar rumah tanpa permisi. Bisa batal acara jalan-jalan yang dijanjikan Papa Mama.
“Ya, sudah kalau tak mau. Aku pergi dulu,” ujar Dita sambil berlalu.
Milly menarik nafas lega setelah temannya itu pergi. Memang bosan kalau di rumah terus. Namun, bukan berarti mau menerima ajakan tak jelas dari Dita.
Jenuh duduk di teras, dia kembali ke kamar. Sekarang tak ada kawan-kawan yang bisa diajak bermain di luar. Akhir pekan begini, semua sibuk dengan acara keluarga masing-masing. Mungkin cuma dia yang tinggal di rumah.
Di kamar, Milly hanya duduk berdiam diri. Dia perhatikan kalau kamarnya sekarang agak berantakan. Kerapian kamar diabaikan karena dia sibuk dengan ujian di sekolah. Hmm, kurang nyaman juga melihat buku dan pakaian berserakan.
Milly tersenyum. Semenjak Papa Mama pergi beberapa hari yang lalu, dia malas membersihkan kamar. Mama melarang Tante Kania membereskannya. Kerapian adalah tanggung-jawab Milly. Setiap hari, Mama memeriksa kamar puteri tunggalnya.
Milly segera beranjak untuk membereskan barang-barangnya yang berserakan. Jangan sampai nanti Mama mengomel. Mau menyambut kepulangan Mama dengan gembira ... eh, malah diceramahi panjang lebar tentang kerapian. Kesal, kan?
Buku-buku yang berhamburan disusun kembali. Kertas corat-coret dibuang ke tong sampah. Pinsil dan pena yang berserakan disimpan ke kotak alat tulis. Nah, sekarang kamarnya sudah lebih nyaman.
“Wah, sudah rapi, nih.” Tiba-tiba Tante Kania masuk.
Milly tersenyum. “Iya, Tante, membersihkan kamar sekaligus mengisi waktu luang. Sepi di rumah.”
“Lusa Papa Mama sudah pulang, kok,” hibur Tante Kania. “Yuk, kita buat jus jeruk. Mau?”
“Mau, Tante,” jawab Milly bersemangat.
Pasti segar minum jus buatan Tante Kania. Apalagi setelah repot membersihkan kamar.
Akhirnya, satu hari terlewatkan. Esoknya, Milly bingung mau mengerjakan apa lagi untuk mengisi waktu. Kamarnya sudah rapi. Rumah juga sudah dibersihkan.
“Mau kita buat roti, Mil?” tanya Tante ketika Milly sedang menonton televisi.
“Roti apa, Tante?” Milly bingung.
“Roti seperti yang dijual di toko,” Tante Kania menjelaskan. “Selama ini kalau Tante datang, kita tidak jadi membuat roti. Milly sibuk terus di sekolah.”
“Oh iya, dari dulu kita sudah janji mau buat roti,” kata Milly riang. “Ayo, Tante, kita kerjakan sekarang. Bahan-bahannya ada?”
“Ada, Mama selalu sediakan bahan-bahan untuk kue dan roti,” jawab Tante Kania. “Tante ajarin, yuk.”
Hari itu mereka berdua segera membuat roti di dapur. Kesibukannya dimulai dari mencampur dan mengolah adonan untuk membuat roti. Ada telur, mentega, tepung, hingga gula. Milly membantu Tante Kania mengaduk semua adonan. Kemudian Tante mulai membentuk roti dan menabur coklat di atasnya.
“Lain kali ajaklah Mama buat roti. Asyik, kan, buat roti.” Tante Kania menyusun adonan roti di atas loyang.
Milly tersenyum malu. Dia pikir, mengadon roti hanya membuat tangannya berlumuran tepung dan mentega. Milly lebih senang menunggu makanan buatan Mama sambil melihat ponsel. Ternyata, asyik juga membuat roti di waktu senggang. Apalagi saat mencampur mentega, tepung, gula, menjadi bentuk persis penganan yang dijual di toko.
Kemudian adonan yang sudah selesai langsung dipanggang dalam oven. Hmm ... aroma wangi roti memenuhi ruangan. Milly tak sabar melahapnya, tapi harus ditunggu dulu sampai roti matang dan dingin.
“Enak, Tante,” ucap Milly setelah mencicipi. Seperti Mama, Tante Kania memang pintar masak.
“Kita tinggalkan beberapa potong untuk Papa dan Mama,” ujar Tante Kania.
“Iya, tentu. Mudah-mudahan mereka senang dengan roti buatan kita,” kata Milly gembira. “Akhirnya dua hari terlewatkan juga.”
Sekarang Milly tahu kalau menunggu itu tidak selalu membosankan. Asal ada kegiatan yang bermanfaat, waktu menunggu bisa menjadi saat menyenangkan.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Cernak
Label:
Cernak
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar