Siang ini, Peri Fiora duduk di teras rumah dengan wajah murung. Tangannya menopang dagu. Dahi mengernyit seperti memikirkan sesuatu. Angin yang berhembus sepoi-sepoi tak mampu mengubah ekspresi muram.
“Kamu kelihatan sedih. Ada apa?” Peri Muti, tetangganya, menghampiri dan duduk pas di sampingnya
.
“Aku bingung. Ratu Peri memberiku tugas sebagai peri hujan,” jawab Fiora. “Kemudian, dia menyuruhku menurunkan hujan di desa Liliput dan Kurcaci.”
“Dulu aku pun diberi tugas yang sama. Menyenangkan, kok,” ujar Muti.
“Aku tak mau menurunkan hujan di sana.” Fiora kesal.
“Kenapa?”
“Sepupuku, Lola, tinggal di desa Liliput. Sedangkan temanku, Kimo, berada di desa Kurcaci,” sahut Fiora. “Hujan sering membuat Lola sakit dan rumah Kimo kebanjiran.”
Muti mengerutkan dahi seperti mengingat sesuatu. “Maksudmu, Lola yang rumahnya di samping Taman Pelangi? Liliput berambut panjang dan suka pakai bando?”
Fiora mengangguk. “Kenal?”
“Kenallah, aku sering berkeliling desa selama menjadi peri hujan. Terus, Kimo itu kurcaci yang agak gemuk dan rumahnya dekat kincir air?” tanya Muti lagi.
Fiora kembali mengangguk.
“Dulu, saat menjadi peri hujan di sana, sering kuperhatikan tingkah laku mereka,” ucap Muti. “Aku tahu penyebab Lola sakit dan rumah Kimo kebanjiran saat hujan.”
Fiora kaget. “Kenapa? Ceritakanlah!”
“Lebih baik kita pergi ke sana sekarang. Akan kutunjukkan sesuatu,” ajak Muti. “Kita ke rumah Lola dulu.”
Mereka segera terbang menuju desa Liliput. Setiba di sana, keduanya langsung menuju rumah Lola. Dari balik jendela, Fiora melihat sepupunya sedang dibujuk menghabiskan santapan siang.
“Makanlah sayuran ini,” ujar Mama Lola. “Nasi dan lauknya juga habiskan.”
Lola menggeleng. “Sudah kenyang.”
“Mama siapkan masakan enak untukmu. Janganlah membuang makanan.” Mama menghela napas kesal.
“Kamu lihat?” Muti berbisik. “Mama selalu menyediakan makanan sehat, tapi Lola tak pernah menghabiskan. Dia lebih suka jajanan.”
Fiora ingat sepupunya memang sering makan kerupuk dan permen. “Jadi, karena itu dia sakit?”
Muti mengangguk. “Pada musim penghujan, Lola sebaiknya memakan sayur dan buah. Juga hidangan sehat yang disediakan Mama. Tujuannya supaya daya tahan tubuhnya meningkat dan tidak mudah sakit.”
“Pantas saja dia sering sakit. Nanti kalau ketemu akan kuberitahu,” ujar Fiora.
Muti tersenyum. “Sekarang, ayo, kita ke rumah Kimo.”
Mereka terbang ke desa Kurcaci, menuju rumah yang lokasinya bersebelahan dengan kincir air.
Sesampai di sana, Fiora melihat temannya duduk di teras sambil melahap roti. Tiba-tiba kurcaci itu membuang plastik pembungkus roti ke selokan depan rumah.
“Lihatlah, Kimo sering membuang sampah sembarangan,” ucap Muti. “Kalau hujan, air selokan itu tersumbat.”
Fiora menghela napas. Ternyata rumah Kimo sering kebanjiran akibat kesalahannya sendiri. Kurcaci itu lalai menjaga kebersihan lingkungan.
“Nanti kuberitahu Kimo kalau dia sebaiknya punya tong sampah,” kata peri mungil itu kesal.
“Setuju, dia harus mengubah kebiasaan buruk. Nah, sekarang aku mau membawamu ke satu tempat lagi. Yuk,” ajak Muti.
Dia menuntun Fiora terbang menuju tanah pertanian. Dari atas, kelihatan banyak kurcaci sedang bercocok tanam. Sayur-sayuran hijau berderet rapi di lahan.
Tampak juga tomat dan cabai yang siap dipanen. Ada lagi pepaya menguning yang telah disusun rapi di dalam truk. Buah itu hendak diantar ke pasar.
Muti menjelaskan. “Petani membutuhkan hujan supaya tanah tidak kering dan tanaman subur. Panenpun melimpah dan mereka punya uang untuk membeli kebutuhan.”
Fiora memandang kurcaci yang tetap semangat bekerja di tengah paparan sinar matahari terik. Dengan menerima tugas sebagai peri hujan dari ratu, berarti dia turut membantu keberhasilan panen.
Fiora terdiam. Dia tahu sekarang, tak boleh hanya memikirkan kepentingan sepupu dan teman. Apalagi keduanya memang sengaja membuat kesalahan.
“Sekarang sudah jelas?” Muti tersenyum.
Dia mengangguk dan mereka terbang pulang menuju desa Peri. Dalam perjalanan pulang Fiora tak mengucapkan sepatah katapun. Akan tetapi, Muti tahu temannya sudah membuat keputusan tepat.
Komentar
Posting Komentar