Prang! Prung!
Andi heran mendengar suara ribut dari dapur pada Minggu pagi. Aneh, biasanya Bik Inah tidak pernah masak seheboh itu. Andi bergegas menuju dapur. Betapa kagetnya dia melihat siapa yang sibuk di sana!
“Lho, sedang kerjakan apa, Nen?” tanya Andi ketika melihat adiknya, Neni, mengiris bawang di dapur.
“Mau masak nasi goreng untuk sarapan kita, Kak.” Neni menjawab sambil tersenyum bangga.
“Apa! Masak?” pekik Andi.
Gawat! Neni, kan, belum mahir memasak. Bisa kacau acara sarapan Minggu pagi.
“Tenang, Kak, kemarin ada pelajaran memasak di sekolah. Neni sudah belajar dan bisa mempraktekkannya. Lagipula sekarang ada Bik Inah yang mengawasi,” ujar Neni sambil melirik Bik Inah yang berdiri pas di sampingnya.
Mama mendekati Andi. “Biarkan saja adikmu, Di.”
“Apa nanti bisa dimakan, Ma?” bisik Andi.
“Hush! Tak boleh bicara begitu. Lagipula Bik Inah ikut membantu, kok.” Mama mengingatkan.
“Kak! Kak! Lihat aku masak, yuk,” ajak Neni.
Dia memang akrab dengan kakak semata wayangnya. Meskipun demikian, ada kalanya mereka bertikai karena masalah sepele.
Andi mendekati meja dapur. “Apa saja bumbu nasi goreng, Nen?”
“Bawang merah, bawang putih, sedikit cabe, merica, dan kecap manis. Nanti ada telur dadarnya, lho. Iya ‘kan, Bik?” Neni minta persetujuan pada Bik Inah yang tetap memantau.
Wanita setengah baya itu mengangguk.
“Tumben masak.” Andi mengamati adiknya meracik bumbu.
“Aku mau seperti Mama dan Bik Inah yang pandai memasak. Ternyata masak itu asyik, lho!”
Dibantu Bik Inah, Neni mulai mengolah bahan nasi goreng. Dia memasukkan bumbu racikan ke kuali, sementara Bik Inah menumis dan kemudian mencampurnya dengan nasi. Mama belum mengizinkan Neni langsung memasak di kompor. Gadis cilik itu hanya diperbolehkan meracik bumbu nasi goreng.
Meskipun demikian. Neni enggan beranjak jauh dari kompor. Dia terus mengamati Bik Inah mengolah masakan. Sesekali tangan mungilnya memegang sendok penggorengan. Dengan sabar, dia menanti masakannya matang. Akhirnya, hidangan itu pun selesai diolah dan siap disajikan.
Aroma khas rempah-rempah yang menggugah selera mulai memenuhi ruangan. Bersama Papa, berlima mereka duduk di meja makan dengan seporsi nasi goreng di depannya.
“Kita coba, yuk,” ajak Papa.
Semua memulai sarapannya. Baru menyantap sesendok, Mama mengernyitkan dahi. Papa juga, Andi, Bik Inah, bahkan Neni sendiri!
“Kayaknya ada yang kurang, nih,” ujar Andi.
Wajah Neni langsung merah padam. “Tadi bumbunya lengkap, kok. Iya, kan, Bik?”
“Iya, Non. Apa yang lupa, ya? Non Neni tadi enggak lupa menaruh garam?”
Mama tersenyum. “Benar, garamnya.”
Andi tertawa cekikikan. “Pantas tidak ada rasanya. Telur dadarnya juga hambar.”
Neni langsung tertunduk. “Iya, Ma, aku lupa menaruh garam.”
Papa dan Mama langsung menghibur Neni yang malu karena menyiapkan menu sarapan kurang lengkap.
“Tidak apa-apa, Nen. Dulu waktu seumuran Neni, Mama belum bisa masak,” hibur Mama. "Ini sudah lumayan."
“Neni, Neni,” ucap Andi sambil terus tertawa kecil. “Kelihatannya saja garam itu sepele, tapi yang paling penting justru kamu lupakan.”
Mama memberi isyarat agar Andi diam dulu. Bocah itu langsung mengatupkan mulutnya.
“Itu karena Neni terlalu semangat sampai lupa membubuhi garam. Namanya juga belajar.” Mama kembali membesarkan hati puterinya.
“Iya,” sambung Papa. “Hari Minggu depan, bisa dipraktekkan lagi masak nasi gorengnya. Pasti sudah lebih mahir. ”
“Tapi, sekarang bagaimana dengan sarapan kita?” tanya Neni dengan suara lirih.
Dia merasa bersalah. Karena nasi goreng buatannya hambar, mereka bakalan tidak jadi menyelesaikan sarapan.
“Tenang, Non, ada solusinya,” kata Bik Inah. “Racikan bumbu sudah sesuai. Supaya ada rasa, tinggal kita tambahkan kecap asin. Tetap enak, kok.”
Akhirnya, Minggu pagi itu mereka menghabiskan nasi goreng buatan Neni. Usaha puteri cilik itu tidak sia-sia. Hidangan yang hambar hanya perlu ditambahkan sedikit kecap asin.
Bik Inah benar. Lumayan juga rasa nasi gorengnya. Meskipun sempat membuat kekeliruan, Neni tidak kapok memasak. Lain kesempatan, dia pasti bisa menyajikan nasi goreng yang benar-benar enak.
Komentar
Posting Komentar