Nindy mengubek-ubek isi kulkas dengan rasa penasaran. Kemana coklatnya? Padahal kemarin masih tersusun rapi di sini. Kok, sekarang hilang?
Sudah berulang kali dia membongkar barisan makanan dalam kulkas. Namun, yang dicari belum juga ditemukan. Dengan perasaan kesal, dia berlari menuju ruang keluarga.
"Dira, Zinka, dimana coklat Kakak? Kok, bisa hilang?" tanyanya kepada kedua adik yang menonton televisi sambil mengudap cemilan.
"Nggak tahu!" Keduanya menjawab tanpa melepaskan pandangan dari layar kaca.
"Nggak tahu, gimana? Jelas salah satu dari kalian yang mengambilnya. Siapa lagi? Papa, Mama, dan Bik Inah tidak suka coklat. Di rumah ini cuma ada kita," jawab Nindy sengit.
Memang kemarin Papa membawakan tiga bungkus coklat merek terkenal untuk mereka. Semua kebagian. Masalahnya, sekarang coklat milik Nindy tidak ada di kulkas.
"Kak, jangan nuduh sembarangan." Dira mulai sewot.
"Iya, jangan gitulah, Kak. Yang dimakan kemarin memang coklat milik kami." Zinka ikut membela diri.
"Hmm, tak ada pencuri yang mau mengaku." Nindy tidak mau kalah.
"Kami tidak bohong, Kak!" Dira mulai meninggikan suaranya.
"Ada apa ini?" Mama datang mendengar ribut-ribut.
Untung saja Mama segera muncul dan melerai. Kalau tidak, mungkin lebih ramai.
"Ini, Ma, salah seorang dari mereka pasti mengambil coklatku," kata Nindy. "Kemarin kulihat mereka makan coklat."
"Memang kemarin kami makan coklat, tapi itu punya kami. Bukan coklat Kakak,” Zinka membantah.
"Jadi kemana coklatnya, coba jelaskan? Dia tidak punya kaki, jadi tidak bisa lari." Nindy benar-benar kesal karena itu adalah coklat kegemarannya.
Dengan wajah cemberut dia melanjutkan. "Pokoknya, Ma, nanti yang ketahuan memakan coklatku harus dihukum."
"Mungkin kamu lupa, Nin, kalau coklatnya sudah kamu makan." Mama mengingatkan.
"Tidak, Ma, aku ingat jelas, kok. Kemarin masih ada di kulkas."
"Ada apa, Bu? Kok ribut-ribut?" Mendengar kehebohan di rumah, Bik Inah datang dari dapur dan sudah berdiri di belakang mereka.
"Ini, Bik, Nindy kehilangan coklatnya. Bibik tahu di mana?" tanya Mama.
"Wah, tidak tahu, Bu. Lagipula Bibik tidak suka coklat. Gigi Bibik sudah sakit kalau mengunyah coklat," jawab Bik Inah.
"Kemana, ya, Ma?" Nindy bingung.
"Sudahlah, kapan-kapan Mama coba minta Papa belikan lagi untuk kalian." Mama berusaha menghibur puteri sulungnya.
"Asal tidak ada lagi yang mengambil sembarangan." Nindy melirik kedua adiknya kesal.
"Kami tidak mengambilnya, Kak!" pekik Zinka kesal.
"Nindy tidak boleh menuduh sembarangan, apalagi kalau tidak ada bukti," ujar Mama tegas.
"Bu, Bibik ingat sesuatu," kata Bik Inah sambil manggut-manggut. "Kemarin Non Nindy minta Bibik membuat kue brownies, kan?"
"Iya, Bik. Terus?” tanya Nindy sambil mengernyitkan dahi.
"Waktu Bibik tanya di mana bahan-bahannya, Non bilang semua ada di kulkas. Mentega, telur, termasuk coklat."
Nindy tertegun. "Maksudnya?"
"Iya, Non, coklat yang ada di kulkas sudah dilelehkan untuk bahan brownis. Mungkin itu coklat yang Non maksud." Bik Inah menjelaskan.
Mata Nindy terbelalak. "Jadi?”
"Non sendiri yang bilang kalau ambil saja bahan-bahan yang diperlukan di kulkas. Jadi Bibik ambil semua, termasuk coklat." Bik Inah menjawab sambil melirik Mama.
Sekarang Dira dan Zinka yang tersenyum mendengarnya. "Tuh, kan, Kak Nindy suka menuduh orang sembarangan."
Nindy hanya diam mendengar perkataan adik-adiknya. Wajahnya merah padam, bahkan dia enggan menatap wajah Mama.
Mama tersenyum melihat puterinya salah tingkah. "Jadi sekarang sudah jelas semua. Coklatnya sudah dibuat kue kemarin sama Bik Inah. Lain kali hati-hati kalau bicara, Nindy."
Dira menimpali. "Jadi siapa, Ma, yang dihukum karena memakan coklat Kak Nindy?"
"Menurut kamu siapa, Zinka?" Mama balik bertanya.
"Seluruh rumah, Ma. Soalnya kita semua, termasuk Papa, memakan browniesnya kemarin," jawab Zinka.
Seluruh rumah, kecuali Nindy, tertawa mendengarnya.
Komentar
Posting Komentar