Langsung ke konten utama

Erina dan Boneka-boneka Etalase

 


 
Prang!

Erina memandang celengan tanah liat berbentuk ayam yang pecah berserakan di lantai.  Beberapa lembar uang logam dan kertas bertaburan. Dia mengutip dan  menghitung jumlah uang yang berceceran di lantai.

Dia terpekik riang setelah sampai pada lembaran uang terakhir. Rencananya untuk membeli boneka baru segera terwujud.
Dengan telapak tangan membawa segepok uang, dia segera mendatangi Mama.  

"Ma, tukar recehanku ini dengan uang besar, boleh? Kalau dibawa begini, nanti bertaburan di jalan."

Mama tersenyum sambil mengambil dompet. Beliau menyerahkan uang kertas sesuai dengan jumlah celengan Erina. Wajah puteri cilik itu semakin berbinar dengan lembaran uang di tangannya.
"Ma, sekarang aku pergi dulu ke toko Bu Wijaya,"  celotehnya riang.  "Mau beli boneka seperti yang pernah kuceritakan."

"Hati-hati di jalan, ya," Mama mengingatkannya. "Kalau ada apa-apa, langsung saja tanyakan pada Bu Wijaya."

Toko serba ada Bu Wijaya hanya berjarak beberapa rumah dari kediaman keluarga Erina. Mama dan Ibu pemilik toserba itu sudah lama berteman baik.

Sebulan ini Erina telah menyisihkan sebagian uang sakunya dan menabungnya di celengan. Penyebabnya setiap pulang sekolah, Erina melihat sebuah boneka cantik di etalase toserba Bu Wijaya. 

Boneka itu mengenakan gaun panjang biru dengan hiasan mahkota di kepala. Tangannya memegang tas berwarna senada. Erina belum punya boneka serupa di lemari koleksi.

Dia minta dibelikan boneka tersebut, tapi Mama menolak. Kata Mama, boneka Erina sudah banyak dibeli saat mereka berbelanja ke supermarket. Kalau tetap menginginkannya, maka Erina harus menggunakan uang jajan sendiri.  

Erina setuju dan mulai menabung. Dia pun jarang ke kantin sekolah. Walaupun diajak teman-teman, Erina tetap kokoh pada keinginannya. Dia mau segera membeli boneka bergaun biru. Tadi siang ketika pulang sekolah, dia melihat boneka impian masih terpajang di etalase.


Sekarang Erina berjalan sambil melompat riang menuju toserba Bu Wijaya. Impiannya segera terwujud. Boneka cantik itu akan ikut berbaris rapi di lemarinya.

Namun, ketika tiba di depan etalase toserba, dia tertegun. Boneka yang diimpikannya memang masih tersedia. Akan tetapi, di sebelahnya ada boneka baru yang tak kalah cantik. Boneka ini mengenakan gaun ungu dengan topi tersemat di kepalanya. Tangannya menggenggam seikat bunga.
Aduh, dua-duanya sama-sama cantik.  Pilih yang mana, ya?  Erina mulai ragu.  Kalau dibeli semua, uang tabungannya tidak cukup. Kalau disuruh pilih, dia bingung harus mengambil boneka biru atau ungu.

"Halo, Erina," Bu Wijaya muncul dan berdiri di depan pintu toko. "Masih mau membeli bonekanya?" 

Erina tersenyum. "Aku masih mau pikir dulu, Bu."
"Lho, selama ini katanya sudah rajin menabung untuk beli bonekanya. Kok, sekarang malah ragu?"  tanya Bu Wijaya heran.

"Iya, Pak, aku cuma bingung saja.  Bonekanya sekarang ada dua. Keduanya sama-sama cantik.  Uangku hanya cukup membeli satu.  Mungkin besok aku datang lagi."

"Baiklah kalau begitu, Erina."

Erina pun balik ke rumah.  Dia benar-benar bingung.  Sehari dua hari dia masih terus memikirkan boneka mana yang harus dibeli. Berulang kali tangannya menghitung. Boneka 1 ... boneka 2 ... boneka 1 ... boneka 2 .... Namun, dia tetap bingung.

Hari ketiga dia masih bimbang. Keempat. Kelima. Barulah pada hari keenam Erina memutuskan boneka mana yang akan dibelinya.  Yaitu boneka lama yang sejak sebulan lalu sudah dilihat di toko Bu Wijaya.
Sore itu Erina kembali berjalan riang menuju toserba Bu Wijaya.  Dia telah yakin dengan pilihannya sekarang.

Akan tetapi, sampai di sana dia kembali tertegun. Bukan karena sekarang ada tiga boneka, tapi tak satu pun boneka terpajang lagi di etalase.
Dengan panik dia masuk ke toko mencari Bu Wijaya. "Bu, bonekanya ke mana? Kok, enggak ada lagi di etalase?"

"Sudah dibeli orang, Erina," jawab Bu Wijaya. "Barusan saja."
"Dua-duanya?”
 
"Iya, habis kamu tidak pernah datang lagi.  Ibu pikir kamu tidak jadi membelinya."



Erina terduduk lemas. Matanya mulai berkaca-kaca menahan tangis.  

"Kemarin selama sebulan bonekanya belum laku, Bu. Kenapa sekarang baru beberapa hari saja sudah laku?"  tanyanya dengan suara serak.

"Erina, yang namanya berjualan itu tidak bisa ditebak. Barang bisa lakunya besok, seminggu lagi, atau bahkan sebulan,"  ujar Bu Wijaya berusaha menenangkan Erina.
Namun, upayanya sia-sia. Tangis Erina pecah. Bu Wijaya kebingungan dan akhirnya menelepon Mama Erina.  Mama segera datang dan mendengar semua penjelasan Bu Wijaya.

"Sudahlah, Erina, mungkin lain kali kamu bisa mendapat boneka lain yang lebih bagus,"  hibur Mama.
"Iya, Erina. Nanti kalau ada boneka lain yang dikirim, Ibu telepon kamu," ucap Bu Wijaya ikut menghibur Erina.  

"Jadi masih ada boneka lain yang akan masuk ke toko Ibu?"  Erina bertanya penuh harap.
Bu Wijaya mengangguk.
"Ma, sekali ini Erina benar-benar mau membelinya. Erina enggak akan ragu-ragu lagi,"  ujar Erina.
"Iya, Rin" jawab Mama lembut.
"Bu, ditunggu teleponnya ya." Erina seraya mengusap air matanya.
Bu Wijaya mengangguk.  Barulah Erina bisa pulang dengan tersenyum ditemani oleh Mama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Uang Saku untuk Olla

Sore itu, Olla berlari masuk rumah menuju dapur. Keringat deras mengalir dan membasahi dahinya, tapi wajah gadis cilik itu tetap berbinar.  Rambut gadis cilik itu awut-awutan. Namun, langkah kakinya bergegas mendatangi Mama seperti orang ketinggalan kereta. “Ma, boleh minta uang?" ujar Olla sambil mendekati Mama yang sedang sibuk menyiapkan makan malam. “Untuk apa?”  tanya Mama. “Mau beli minuman,” jawab Olla sambil menyeka keringat di dahi dengan punggung tangannya. “Tuh, banyak minuman di kulkas. Ambil saja, enggak usahlah beli di luar. Lebih hemat lagi. Lagipula, Mama sudah beri uang saku tiap pagi sebelum sekolah. Kemana semua?” Mama menjawab sambil terus memotong bawang.  Wajah Olla langsung cemberut. “Sudah habislah di sekolah. Masa Mama nggak tahu kalau aku sering ke kantin.” “ Berhematlah, La. Mama sudah sering bilang begitu. Jangan semua dihabiskan di kantin. Kalau masih ada sisanya, bisa ditabung,”  ujar Mama. Olla jadi kesal. Dia pikir, Mama kok ...

Rahasia Boneka Beruang

  Ada seorang gadis cilik bernama Adinda yang hobi mengoleksi boneka. Orang tua Adinda bahkan sampai membuatkan sebuah kamar khusus untuk menyimpan semua koleksinya. Di ruangan itu ada beragam bentuk boneka seperti Singa, Kelinci, Jerapah, Monyet, dan lain-lain. Tetapi, gadis cilik itu tidak tahu perilaku boneka-bonekanya di dalam ruangan.  Apabila malam tiba, ternyata para boneka bisa hidup dan bergerak sendiri. Namun tidak semuanya!  Hari ini, ada satu boneka yang duduk menyendiri di sudut ruangan, yaitu Beruang. Dia adalah penghuni baru yang datang beberapa hari lalu. Singa yang melihatnya duduk sendirian, langsung datang dan menyapa.  “Hai, Beruang, kenapa kamu diam saja? Tidak ikut bermain-main dengan kami?” Beruang tersenyum sambil menggeleng.  “Aku sedang malas malam ini.” “Malas? Benar, nih? Kami perhatikan sejak kedatanganmu beberapa hari lalu, kamu cuma duduk saja.” Kelinci menimpali. “Iya!”  kata Jerapah.  “Kamu sepertinya bukan ma...

Lomba Mendongeng Negeri Fantasi

"Wow!” Lala Liliput bersorak gembira membaca pengumuman di media sosial Istana Negeri Fantasi. “Ada apa?” tanya Kiki Liliput, sahabatnya yang duduk di kursi seberang.   Lala menunjukkan isi pengumuman itu. Menyambut ulang tahun Ratu Frilly, pemimpin Negeri Fantasi, akan diselenggarakan lomba menulis dongeng. Semua penduduk memang tahu kalau sang Ratu penggemar cerita fiksi itu.  Nanti akan dipilih dongeng terbaik untuk menjadi juara. Dongeng tersebut menjadi hadiah ulang tahun istimewa untuk Ratu Frilly. P emenang lomba pun mendapatkan hadiah jalan-jalan keliling negeri Fantasi. “Aku mau ikut,” kata Lala. “Hadiahnya menarik.” “Tetapi, kamu belum pernah menulis dongeng,” ujar Kiki mengingatkan. "Itu mudah saja. Aku bisa berlatih secepatnya. Yang penting tulis dongeng dan ikut dulu. Siapa tahu menang,” ucap Lala. Kemudian, dia mengambil secarik kertas dan pena, lantas mulai menulis. Setelah selesai, Kiki membaca tulisannya. Cerita Lala berkisah tentang anak perempuan yang dike...