Peri Vivi sedang menjalankan tugasnya menurunkan hujan di desa Kurcaci. Sekarang dia akan menaburkan bubuk awan tepat di atas desa. Vivi pun mulai terbang ke langit sambil berdendang riang.
Dia terus terbang sembari menaburkan bubuk warna-warni berkilauan. Setelah bertaburan di udara, bubuk-bubuk tersebut berubah warna menjadi kelam. Tak lama kemudian, terbentuklah awan pekat yang menurunkan hujan.
“Terima kasih, Vivi!” Warga desa Kurcaci bersorak gembira menyambut turunnya air dari langit.
Musim kemarau telah berlalu. Musim hujan mulai menyapa dan saatnya kembali bercocok tanam. Desa Kurcaci yang subur mampu menghasilkan beragam hasil bumi yang laris dijual di pasar negeri Fantasi.
“Besok aku datang lagi,” ujar Vivi sambil melambai pergi.
Dia senang melihat sambutan teman-temannya. Senyuman mereka membuat Vivi semakin semangat bekerja.
“Kami tunggu!” teriak Fedo Kurcaci, salah seorang warga.
Esok hari Vivi menepati janjinya datang ke desa itu. Para Kurcaci selalu menyambut gembira. Dari balik jendela rumah masing-masing, mereka memperhatikan tetesan hujan yang mengguyur bumi.
Demikianlah setiap hari Vivi Peri datang ke sana untuk menciptakan hujan. Semuanya berjalan lancar dan dia mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Seminggu berlalu dan Vivi merasa ada yang aneh dengan kawan-kawannya. Mereka memandangnya dengan wajah cemberut, bahkan ada yang menutup pintu ketika dia melintas. Vivi bingung, tidak biasanya warga desa Kurcaci bersikap demikian.
Pagi ini ketika si Peri datang, Willy Kurcaci justru marah. “Vivi, jangan turunkan hujan terus-menerus. Anakku sulit pergi ke sekolah.”
Kurcaci-kurcaci lain ikut menimpali. “Rumahku kebanjiran gara-gara hujanmu.”
“Aku sakit terkena air hujan setiap hari.”
“Pakaianku banyak yang lembab.”
Vivi heran melihat sikap teman-temannya. Bukannya berterima kasih, mereka malah jadi rewel. Peri itu tersinggung dan tak mau lagi mengunjungi desa Kurcaci.
Beberapa hari kemudian Ratu Peri memanggil Vivi. “Saya dengar, penduduk desa Kurcaci mengeluh karena seminggu tidak turun hujan. Kenapa bisa begitu, Vivi? Tugasmu menurunkan hujan di sana.”
“Maaf, Ratu, saya memang sudah lama tidak ke desa mereka,” jawab Vivi. “Mulai sekarang, saya tak mau lagi menurunkan hujan di sana. Saya akan mencari peri lain untuk menggantikan tugas itu.”
“Kenapa bisa begitu? Selama ini saya lihat kamu selalu bersemangat setiap bertugas ke sana," tanya Ratu bingung.
Vivi menceritakan perlakuan para Kurcaci seminggu yang lalu. Dia tersinggung karena jerih payahnya menurunkan hujan tidak pernah dihargai. Bukannya berterima kasih, mereka malah memarahi Vivi.
Ratu Peri mengangguk paham mendengar penjelasan itu. “Vivi, mereka bukan mengabaikan usahamu. Kalau terlalu sering menurunkan hujan memang bisa merepotkan.”
“Saya hanya mau menolong mereka setelah melewati musim kemarau,” ujar Vivi. “Saya ikut senang jika lahan pertanian mereka semakin subur. Cuma kalau mereka menolak, saya juga tidak memaksa, kok.”
“Bukan begitu maksudnya,” Ratu Peri sabar menasihati. “Segala sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik. Menurunkan hujan setiap hari itu berlebihan. Kegiatan para Kurcaci bisa terganggu. Datanglah ke sana beberapa hari sekali, bukan setiap hari.”
Vivi terdiam mendengar penjelasan Ratu. Selama ini dia tersanjung melihat sambutan para Kurcaci ketika menurunkan hujan. Dia merasa sudah menjadi sosok pentingnya di sana. Vivi lupa kalau semua ada batasannya.
Teman-teman Kurcaci pasti kerepotan dengan hujan yang sering dicurahkannya. Mereka sulit beraktivitas karena setiap hari diguyur air dari langit. Bahkan ada yang rumahnya kebanjiran ataupun jatuh sakit.
“Sekarang pergilah ke desa Kurcaci,” ujar Ratu Peri. “Mereka sudah menunggumu selama seminggu.”
“Baiklah, Ratu,” ucap Vivi.
Peri itu segera mengambil bubuk awan dan berangkat ke desa Kurcaci. Dalam perjalanan dia khawatir, bagaimana kalau kawan-kawan Kurcaci masih marah?
Ah, sudahlah. Vivi tahu dia memang telah membuat kesalahan. Sekarang yang penting bagaimana menyelesaikan tugas dari Ratu Peri.
Sesampai di sana ternyata kekhawatirannya tidak beralasan. Para Kurcaci menyambut Vivi dengan gembira. Mereka melambaikan tangan melihat kedatangannya.
“Dari mana saja sudah lama tak kelihatan?” tanya Fedo Kurcaci.
Vivi hanya tersenyum sambil mengambil bubuk awan dari kantong. Saking senangnya, dia bingung menjawab pertanyaan barusan.
Vivi segera menaburkan bubuk awan di langit. Tak lama kemudian, cuaca menjadi gelap karena awan pekat sudah muncul. Guntur pun menggelegar. Dalam sekejap, air langsung mengguyur membasahi bumi.
“Terima kasih, Vivi." Para Kurcaci bersorak. “Hujanmu membuat udara di sini sejuk.”
“Iya, Teman-teman, aku juga senang desa kalian semakin sejuk,” ujar Vivi. “Sekarang aku pamit dulu mau menurunkan hujan di tempat lain. Beberapa hari lagi baru aku datang.”
“Kami tunggu." Kurcaci-kurcaci menjawab hampir bersamaan.
Vivi meninggalkan tempat itu sambil tersenyum riang. Tak ada lagi raut wajah kesal dari teman-temannya. Selama ini dia memang terlalu banyak menurunkan hujan. Akibatnya, kegiatan para Kurcaci jadi terganggu.
Benar apa yang tadi dikatakan Ratu Peri. Segala sesuatu yang berlebihan itu kurang baik.
Komentar
Posting Komentar