Sore itu Lofi Jangkrik sedang duduk bersantai di dedaunan. Matahari bersinar redup menuju senja, ketika dia melihat Riri Kecoak berjalan tergesa-gesa. Sepasang mata Riri menatap lurus ke depan.
“Mau ke mana, Ri?” tanya Lofi pada sahabatnya. “Kok, terburu-buru sampai lupa menyapaku.”
Ditegur demikian, Riri menoleh kaget. “Maaf, aku memang tak melihatmu. Aku memang terburu-buru karena keluargaku mau pindahan.”
“Ke mana?"
Riri menunjuk rumah hijau mungil berhalaman luas. Beberapa anak sedang bermain-main di sana. Banyak pepohonan dan bunga tumbuh di depannya. Dedaunan tetumbuhan tersebut meneduhkan pekarangan.
“Tapi, rumah itu ada penghuninya.” Lofi mengingatkan. “Hati-hati, banyak orang kurang suka dengan serangga seperti kita.”
“Tenang saja. Kami tidak tinggal dalam ruang keluarga, tapi di gudang,” ujar Riri. “Ruangannya kotor dan lembab karena jarang dibersihkan. Kecoak senang tinggal di tempat seperti itu.”
“Apa enggak ada tempat lain?" Lofi tetap menyarankan Riri agar membatalkan niat, tapi tak digubris.
Keluarga kecoak sudah yakin dengan pilihan mereka. Riri pun pamit dan bergegas pulang. Dia telah ditunggu untuk ikut pindahan.
Jangkrik itu khawatir pada Riri. Dulu dia pernah melihat sekelompok kecoak dihalau pemilik rumah hijau. Lofi tidak mau Riri dan keluarga mengalami hal yang sama. Karena itu tadi dia mengingatkan, tapi Riri mengabaikannya.
Hari demi hari berlalu. Lofi melihat Riri sekeluarga tetap tinggal di sana tanpa gangguan dari pemilik rumah. Mungkin keluarga kecoak memang sudah menemukan tempat yang tepat. Lofi ikut senang kalau benar demikian.
Namun, ketenangan tersebut tidak berlangsung lama. Suatu hari, Riri datang ke rumah Lofi sambil menangis tersedu-sedu. Wajahnya lusuh dan kuyu. Tubuhnya berlumuran debu.
“Ada apa, Ri? Kenapa menangis?” tanya Lofi cemas.
“Hu, hu, hu! Kami harus pergi dari rumah hijau,” isak Riri.
“Kenapa? Kulihat selama ini kalian baik-baik saja,” tanya Lofi heran.
“Neneknya datang dan memeriksa gudang. Nenek marah karena tempatnya berantakan dan kotor. Hari itu juga mereka bergotong-royong membersihkan gudang,” Riri menjelaskan di antara sedu-sedan.
“Kalian terpaksa pergi?’ tebak Lofi.
Riri mengangguk. “Sarang kami dibersihkan. Katanya, kami serangga kotor dan mengganggu. Aku tak suka disebut begitu. Hu, hu, hu!”
“Sudahlah, jangan tersinggung. Memang banyak orang risi dengan kecoak berseliweran di rumah. Itu sebabnya kemarin aku mencegahmu ke sana,” ujar Lofi. Kemudian dia menghibur. “Namun, apapun kata mereka kamu tetap sahabatku .”
“Terima kasih, Lof,” ujar Riri lirih.
“Sekarang lebih baik kita pikirkan di mana tempat tinggalmu yang baru. Soalnya, kecoak enggak bisa tinggal di daun seperti aku.” Lofi mengingatkan. “Apalagi pas musim penghujan. Kasihan nanti keluargamu basah kuyup.”
“Kamu tahu tempat yang cocok untuk kami?” tanya Riri. “Kamu, kan, sering jalan-jalan di sekitar sini. Siapa tahu ada ide.”
Lofi berpikir sejenak dan kemudian menunjuk ke timur. “Kulihat ada tanah kosong sebelah sana. Di atasnya ada bangunan gubuk. Mungkin kalian bisa tinggal di situ.”
“Apa ada orang tinggal di sana? Nanti kami harus pergi lagi,” ujar Riri cemas. "Aku sedih melihat keluargaku kehujanan dan kedinginan jika terus tinggal di luar."
Lofi menggeleng. “Hanya Bu Sumi, pemilik tanah, yang kulihat menanam sayur di sana. Dia pasti tak terganggu dengan kedatangan kalian. Bu Sumi tinggal di rumah lain.”
Kemudian Lofi mengantar Riri dan keluarga memantau tempat tersebut. Lokasinya tidak jauh dari pemukiman mereka sekarang. Jadi walaupun pindah, Riri dan Lofi masih bisa sering bertemu.
Setelah dilihat, ternyata keluarga kecoak cocok dengan suasananya. Gubuk belum reyot dan layak huni. Ada beragam sayur dan pepohonan di halaman. Lingkungannya tenang, jauh dari hiruk pikuk penghuni rumah. Mereka pun memutuskan menetap di sana.
Sampai sekarang Riri dan keluarga tetap aman tinggal di gubuk tersebut. Setiap hari mereka bermain-main dan mencari makanan di kebun. Ketika hujan, mereka berteduh tanpa takut kebanjiran.
Bu Sumi tidak terganggu dengan kehadiran Riri dan keluarga. Dia datang setiap hari dan rajin bercocok tanam. Kalau Ibu itu muncul, keluarga kecoak langsung bersembunyi di balik tumpukan papan. Mereka baru keluar setelah Bu Sumi pergi.
“Terima kasih, Lof, karena sudah memberitahu tempat ini pada kami,” ucap Riri sambil merangkul sahabatnya.
“Iya, aku juga senang gubuk ini cocok untuk kalian. Bagiku, yang penting keluarga kecoak aman dan betah,” ucap Lofi. “Kalianpun tidak digusur lagi oleh pemilik rumah.”
Riri mengangguk. Sekarang dia dan keluarga sudah memperoleh pemukiman baru. Mereka senantiasa sehat selama musim penghujan karena mendapatkan tempat berteduh hangat.
Komentar
Posting Komentar