Hari masih pagi ketika Revina sedang mengobrol dengan teman-teman sekelasnya. Suara riuh rendah membuat suasana ruangan semakin akrab. Menjelang bel sekolah berdering, terdengar bunyi aneh yang muncul dari arah pintu kelas. Revina langsung menoleh.
"Hai, Kikan," sapa Dea pada seorang anak perempuan yang baru saja datang. "Sudah sembuh?"
Anak yang disapa mengangguk sambil tersenyum. Rambut ekor kuda bergoyang-goyang mengikuti gerakannya. Wajah ceria itu berbinar seperti mentari pagi yang sedang bersinar di langit. Kikan memandang sekeliling dan menyapa teman-teman lain.
Sebagai anak baru di sekolah, Revina terperanjat melihat keadaan Kikan. Kaki kanannya lebih kecil dari sebelah kiri. Dia berjalan dengan bantuan sepasang tongkat penyangga. Bunyi tongkat itu yang tadi menarik perhatiannya.
"Siapa dia?" tanya Revina. "Baru kulihat hari ini. Sejak aku datang dua hari lalu, dia belum muncul. Kenapa pula dengan kakinya?”
"Namanya Kikan, Rev," kata Dea seraya tersenyum maklum melihat keheranan Revina. "Keadaannya memang begitu sejak lahir. Beberapa hari ini, dia tidak masuk sekolah karena sakit. Makanya, kamu baru melihat sekarang.”
Kikan berjalan menuju bangku di barisan belakang. Aneh, Revina melihat tidak ada yang membantu Kikan membawa tasnya yang berat. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, seperti mengobrol atau asyik bermain. Kikan luput dari perhatian mereka.
Revina heran dengan tingkah laku teman-teman sekelas. Menurutnya, kurang pantas bersikap demikian pada Kikan, apalagi membiarkannya duduk di barisan belakang. Kikan tentu kerepotan bolak-balik jika disuruh guru maju ke depan kelas.
Revina mengetuk meja sambil mengangguk-angguk. Hmm, dia punya rencana. Revina mau berbuat sesuatu untuk Kikan. Dia tidak perlu menceritakan pada teman-temannya. Biarlah ini menjadi kejutan untuk mereka. Besok Revina akan datang lebih awal.
=== 0 ===
“Hai, Kikan!" sapa Revina ketika anak itu tiba. Hari masih pagi dan hanya beberapa siswa yang telah datang. "Aku Revina, anak baru di sini. Kita sudah ketemu kemarin. Kata Dea, kamu sakit beberapa hari lalu."
Kikan tersenyum. "Hai, senang kenalan denganmu, Rev. Iya, aku memang baru sembuh. Kudengar kamu pindahan dari Bandung?"
"Benar. Rupanya kamu sudah tahu duluan. Eh, ngomong-ngomong, sini aku bantu bawakan tasmu." Revina mengambil tas sekolah dari pundak Kikan.
"Enggak usah, Rev.” Kikan berusaha mencegah.
Tetapi, Revina lebih gesit dan sudah membawa tas itu tanpa sempat dicegah Kikan. Kemudian, dia meletakkannya di bangku depan.
"Lho, Rev, bangkuku ada di barisan belakang." Kikan menatapnya bingung.
"Kita tukar saja. Aku yang pindah ke bangku belakang. Biar kamu yang duduk di sini. Supaya kamu enggak perlu repot berjalan jauh jika dipanggil guru ke depan," ujar Revina sambil mengambil tasnya sendiri dan memindahkannya ke bangku belakang.
"Jangan begitu, Rev.” Kikan kebingungan melihat sikap Revina yang memaksa.
Kikan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Walaupun risi, dia tersentuh dengan upaya Revina meringankan bebannya. Sekarang Kikan sedang berpikir, bagaimana cara menjelaskan pada Revina agar teman baru ini tidak tersinggung.
Pada saat keduanya masih berargumen, teman-teman yang lain mulai berdatangan. Mereka segera melihat ada kesalahpahaman di antara Kikan dan Revina.
"Ada apa, Kikan?" tanya Dea.
Revina menjelaskan tentang niatnya menolong Kikan. Dia keberatan dengan sikap teman-teman yang mengabaikan kondisi Kikan. Sebagai kawan sekelas, mereka sebaiknya saling menolong. Teman-teman tersenyum mendengar perkataan Revina itu.
"Rev, kami tahu niat kamu itu baik. Cuma sebelumnya, tanya Kikan dulu. Dia setuju atau enggak dengan bantuanmu." Dea menjelaskan.
"Maksudnya?" Kikan semakin bingung.
"Kami bukan tidak peduli pada Kikan seperti yang kamu pikirkan. Apalagi tidak mau menolongnya. Kikan sendiri yang kurang suka terlalu sering dibantu,” ujar Dea.
"Tapi, kakinya Kikan." Revina kembali mengingatkan.
"Aku paham maksudmu, Rev." Akhirnya, Kikan ikut bicara. "Selama ini aku selalu mengerjakan sesuatu seorang diri, seperti anak-anak lainnya. Kadang-kadang saja aku minta tolong sama orang lain."
"Kenapa begitu?" tanya Revina dengan suara lirih.
"Aku senang mengerjakan tugasku sendiri, Rav, daripada sedikit-sedikit minta tolong. Senang, lho, kalau mampu mengerjakan tugas sendiri. Di rumah juga gitu, kok, sama Papa Mama." Kikan mengerjap-ngerjapkan matanya.
Revina tertegun mendengar ucapan Kikan barusan. Sejenak suasana kelas hening. Kemudian, Revina melirik semua temannya sambil tersenyum lebar.
"Maafkan aku, Kikan. Jangan tersinggung dengan sikapku tadi. Aku enggak bermaksud meremehkanmu.”
"Tidak apa-apa, Rev. Aku mengerti, niatmu baik, kok. Lagi pula kamu anak baru di sini dan belum tahu keadaannya," jawab Kikan memaklumi. “Nah, sekarang aku boleh balik ke bangkuku?"
Revina mengangguk. Kikan mengambil tasnya dari bangku depan. Diiringi pandangan mata teman-teman sekelas, dia berjalan sendiri menuju bangkunya yang berada di barisan belakang.
Komentar
Posting Komentar