Mareta menatap tablet di depannya dengan wajah cemberut. Tadi pagi, keluarganya baru tiba dari Jakarta ke Berastagi, Sumatera Utara. Udara kota kecil ini begitu sejuk, apalagi lokasinya dekat dengan pegunungan. Selain sejuk, tempat ini pun indah sekali.
Namun, kesejukannya tidak mampu menutupi hati yang sedang gundah. Niat berlibur sekaligus menghadiri pernikahan Tante Nirma, nyaris punah karena tugas sekolah tetap didahulukan.
“Mama akan ajak kamu ke jalan-jalan kalau pe-er sudah selesai,” ujar Mama. “Bu Tati sudah berbaik hati mau mengirimkan bahan pelajaran melalui email. Jadi kamu enggak bakalan ketinggalan pelajaran, termasuk pe-er yang harus dikerjakan.”
.
Mareta langsung termangu mendengar ucapan Mama. Jalan-jalan di daerah ini unik, berbeda dengan kota besar. Di sini terbentang luas lahan pertanian. Mareta ingin mengunjungi kebun sayur dan buah dekat rumah.
Kota Berastagi merupakan kota kecil yang menjadi pemasok buah dan sayur-mayur ke berbagai daerah Sumatera Utara. Beragam hasil bumi yang biasa dilihat di pasar, tumbuh subur dan segar di sini.
“Mama enggak setuju kalau pe-ernya dikerjakan malam hari. Nanti kamu keburu mengantuk karena kecapekan bermain.” Mama menolak usulan dari puteri bungsunya yang mau menunda mengerjakan pe-er. “Ayo, selesaikan sekarang. Nanti kamu bisa bermain sepuasnya.”
Di kamar ini, Mareta menatap layar tablet dengan beragam emosi. Pikirannya bercabang antara pe-er dan rencana jalan-jalan. Apalagi di rumah sekarang sunyi. Keheningan ini semakin membuatnya jenuh.
Paman Roni dan Tante, sebagai pemilik rumah, pergi bersama Papa sebentar ke rumah kakek. Sepupu-sepupunya bersekolah. Kakak-kakaknya memilih tetap tinggal di Jakarta. Di rumah ini hanya dia dan Mama yang sedang memasak di dapur.
Tok, tok, tok!
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan. Mareta terkejut dan segera keluar kamar. Sejenak dia celingak-celinguk mencari Mama, tapi tidak tampak. Kelihatannya Mama memang sedang sibuk.
Dia mendengar suara piring berdenting dari dapur yang jaraknya agak jauh ke belakang. Sementara, suasana ruang tamu benar-benar sepi. Waduh, mendadak Mareta merasa gentar.
Meskipun demikian, dia segera beranjak menuju pintu depan. Siapa pula yang datang menjelang siang begini? Sebelum membuka pintu depan, dia sempat mengintip dari balik jendela.
Ternyata ada seorang gadis cilik seusianya berdiri menunggu di depan pintu. Rambutnya berwarna kemerahan. Kulitnya sawo matang dengan postur tubuh yang agak kurus.
Mareta ingat, tadi Mama memberitahu ada yang akan mengantar pesanan makanan ke rumah. Mungkin ini pesanan yang dimaksud Mama. Dia bergegas membukakan pintu.
“Hai, ada keperluan apa, ya?” tanya Mareta ramah.
“Ini, aku cuma mau mengantar cimpa pesanan Mamamu,” jawab gadis cilik itu sambil menyerahkan sebuah bungkusan besar.
“Wow, cimpa!” Mareta bersorak riang mendengar nama makanan kegemarannya.
Cimpa merupakan cemilan khas suku Batak Karo, yaitu mayoritas penduduk Berastagi. Cemilan ini terbuat dari bahan beras ketan diisi gula merah dan kelapa parut. Rasanya lembut karena dikukus setelah sebelumnya adonan dibungkus daun pisang.
Kalau ada keluarga yang berkunjung ke Jakarta, mereka sering membawa oleh-oleh cimpa. Oleh sebab itu, Mareta sudah familiar dengan makanan ini.
“Terima kasih, ya. Yuk, masuk dulu. Kenalin, aku Mareta,” ajaknya.
Gadis cilik itu menggeleng. “Terima kasih, tapi aku harus membantu Mamaku di ladang jeruk. Oya, aku Desi.”
“Kamu nggak sekolah, Des?”
“Hari ini libur karena ada rapat guru. Akupun bisa lebih cepat membantu Mamaku di ladang.” Desi pun segera pamit.
Mareta memperhatikan kalau Desi membawa beberapa buku lusuh di tangan kirinya. Dia penasaran dan ingin bertanya. Namun, Desi sudah pergi dan menghilang di balik pagar. Mareta langsung menutup pintu dan kembali ke kamar untuk menyelesaikan pe-er.
== 0 ==
Sore hari, Mareta sedang duduk di teras rumah Paman Roni. Hatinya lega karena tugas sekolah baru saja selesai. Sebentar lagi dia akan diajak orang tuanya mengelilingi kota Berastagi.
Saat dia sedang memilah-milih sepatu, gerbang pagar terbuka dan Desi datang sambil membawa dua rantang. Jalannya agak sempoyongan karena tangannya kerepotan mengangkat rantang. Mareta bergegas berdiri untuk membantu tamunya.
“Waduh, pasti berat sekali, Des. Apalagi, nih?” tanyanya penasaran.
“Masakan tasak telu pesanan Mamamu. Kalau adat Batak Karo hidangan ini wajib disediakan pada acara-acara keluarga besar, seperti pernikahan.” Desi menjelaskan.
Mareta mengangguk paham. Dia memang pernah mendengar cerita tentang masakan tradisional ini dari Mama. Dalam bahasa Batak Karo tasak berarti masak, sedangkan telu berarti tiga.
Tasak telu merupakan hidangan daging ayam yang dimasak dengan tiga bahan tambahan, yaitu rampela atau hati ayam, daun ubi, dan kelapa parut. Hidangan ini biasa disajikan pada acara penting sebagai tanda ucapan syukur.
Setelah mengantar kedua rantang tersebut ke dapur, Mareta mengajak Desi mengobrol sebentar di teras.
“Kamu enggak keburu, kan,? Aku ada mau bertanya sedikit,” Mareta mempersilakan temannya duduk di kursi.
Desi tersenyum. “Enggak, kok, ada apa?”
“Tadi aku lihat kamu membawa buku. Kamu suka membaca?” Mareta bertanya.
Gadis cilik berambut panjang itu mengangguk cepat. “Oh, iya, tadi aku meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Kalau lagi ada waktu luang, aku sering membaca buku di rumah.”
“Ih, kok, masih repot membaca buku dari perpustakaan. Sekarang sudah ada internet, kan.” Mareta beranjak menuju kamarnya. “Sebentar, tunggu di sini.”
Dia kembali sambil membawa tablet. “Sinyal internet di sini bagus untuk berselancar di dunia maya. Nih, aku punya banyak buku di dalam tabletku. Enggak perlu beli buku, cukup berlangganan di perpustakaan digital. Jadi, enggak repot lagi membuat lemari buku.”
Mareta mengutak-atik tablet sambil menunjukkan berbagai koleksi buku digital. “Lihat, praktis, kan.”
Desi hanya memandangi dengan bibir terkatup. Walaupun diam, tapi matanya berbinar-binar memandangi koleksi buku digital yang tampak di layar tablet. Buku dengan tampilan menarik bersampul warna-warni, membuat Desi sulit melepaskan tatapan dari layar tablet.
“Papamu punya ladang jeruk, Mamamu ada jasa menyediakan makanan. Kamu minta saja dibelikan tablet.” Mareta menyarankan dengan penuh semangat. “Pamanku pun punya ladang jeruk. Kalau panen, wuih, biasanya aku ikut dapat rezeki.”
Desi tetap membisu sambil menunduk. Dia memutar-mutar jari-jarinya gelisah. Berkali-kali helaan napas terdengar dari bibir mungilnya.
“Eh, ada Desi, sudah lama, Nak?” Mama Mareta muncul dari dalam rumah.
“Barusan, kok, Bik. Tadi mengantar tasak telu pesanan Bibik,” jawab Desi. Bibik adalah panggilan untuk tante bagi masyarakat sana.
Setelah mengobrol sebentar, Desi pun pamit. Dia juga punya pe-er yang harus diselesaikan.
“Barusan Mama dengar kamu mengajak Desi untuk membeli tablet sebagai pengganti buku.” Mama memandang puterinya dengan penuh selidik setelah Desi menghilang di balik pagar.
Mareta menunduk. “Iya, Ma. Saranku bagus, kok, supaya dia nggak repot lagi meminjam buku dari perpustakaan. Buku-bukunya sudah lusuh dan kusam pula.”
“Kamu tahu apa pekerjaan orang tuanya?” tanya Mama.
“Papanya punya ladang jeruk dan Mamanya punya usaha makanan," jawab Mareta sambil memutar-mutar bola matanya.
Mama menghela napas. “Mareta, lain kali sebelum mengobrol dengan orang yang baru dikenal, cari tahu dulu latar belakangnya. Papa Desi tidak punya ladang jeruk. Papanya bekerja sebagai buruh tani di ladang Paman Roni.”
Mareta terdiam sambil memandang Mama. Sepasang matanya melebar dengan mulut melongo. Dia pernah mendengar cerita tentang buruh tani yang bekerja di ladang keluarganya. Penghasilan mereka tidak terlalu besar, tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
“Mama Desi cuma memasakkan hidangan yang kita pesan.” Mama melanjutkan. "Nah, upah dari pesanan memasak yang mereka kumpulkan untuk biaya hidup sekeluarga. Kok, sekarang malah kamu sarankan beli tablet?”
Mareta membisu sambil mengusap-usap layar tablet di tangannya. Perasaan malu menyusup ke dalam relung hatinya. Dia kurang memahami keadaan keluarga di daerah ini, yang tentunya berbeda dengan situasi ibukota.
Diam-diam, Mareta khawatir dengan ucapannya tadi. Jangan-jangan Desi tersinggung dan enggan berteman dengannya lagi.
“Maafkan aku, Ma, soalnya aku senang sekali bertemu anak seumuranku yang hobi baca. Mama tahu, kan, tidak banyak temanku di sekolah yang punya hobi yang sama. Karena itu aku tadi mengajaknya mengobrol. Apa dia tersinggung tadi, ya?"
“Nanti kalau ketemu lagi dengan Desi, bicaralah baik-baik. Mama yakin, dia nggak marah, kok. Bagi Mama, yang penting lain kali kamu sudah mengerti etikanya.” Mama menyarankan.
Mareta mendadak menemukan suatu ide. Dahinya mengernyit, matanya berputar-putar memandang langit-langit rumah. Kemudian dia mengangguk-angguk.
“Ma, gimana kalau besok sore kita berkunjung ke ladang jeruk Paman. Aku mau ketemu Desi di sana. Ada yang mau kusampaikan padanya,” ujar Mareta bersemangat.
Mama menatap bingung. “Hayo, ada apa lagi?”
“Aku mau tanya alamat rumahnya. Di Jakarta banyak buku ceritaku yang lama. Semua hanya teronggok berdebu di lemari. Daripada tak dibaca lagi, nanti setelah pulang buku-buku itu kukirim untuk Desi.” Mareta mengutarakan niatnya. “Boleh?”
Mama tertegun sejenak kemudian tersenyum. “Ide terbaik yang pernah Mama dengar.”
Mareta bersorak. "Hore, besok bakalan jalan-jalan ke ladang jeruk. Karena agak jauh, kita sekalian piknik, ya, Ma. Kita bawa makanan, supaya nanti rame-rame santai di sana."
“Boleh saja,” ucap Mama. “Cuma, ada syaratnya. Pe-er harus selesai dulu.”
“Beres, Ma.” Mareta langsung memeluk Mamanya.
Besok, Mareta akan menyelesaikan pe-ernya seteliti sekaligus selekas mungkin. Sore harinya, dia ingin menemukan pengalaman baru bersama Desi dan sepupu-sepupunya di ladang jeruk nan sejuk.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar