Lola Kurcaci ingin menyantap kue buatan Bu Wury Peri. Tetapi, dia bingung karena uang yang diberi Mama tidak cukup untuk membeli kue mahal itu. Dia takut jika menawar harganya. Bu Wury suka memarahi anak-anak kurcaci, seperti Lola, kalau mendekati rumahnya. Entah mengapa, Lola tidak tahu.
Sudah banyak temannya yang bermain di depan rumah Bu Wury dan langsung disuruh pergi. Semua anak kurcaci menjadi ketakutan. Akibatnya sekarang tidak ada lagi yang berani mendekati rumah itu.
Namun, Lola benar-benar ingin menikmati kue coklat yang terkenal lezatan. Dia sedang berpikir dan mencari akal, bagaimana cara mendapatkan kue tersebut. Sambil terus memikirkan caranya, dia berjalan ke rumah Bu Wury.
Kebetulan saat itu rumah Bu Wury sedang sepi. Mungkin Bu Wury sedang pergi. Lola melintas di rumahnya sambil mengamati halaman depan. Dia melihat sapu lidi bersandar di pagar. Lola tersenyum karena muncul ide dibenaknya.
Dia bergegas mengambil sapu lidi itu dan mulai bekerja. Sret, sret, sret! Dikumpulkan dedaunan yang berserakan di tanah. Plastik yang tercecer dimasukkan ke tong sampah. Sekarang halaman Bu Wury sudah lebih bersih.
“Huff! Selesai juga,”
Lola menarik napas lega sambil menyeka keringat di dahi. Sekarang tinggal menunggu Bu Wury pulang. Semoga saja Ibu peri itu senang dengan hasil kerjanya.
Tak lama kemudian terdengar dengungan suara sayap peri. Bu Wury telah tiba di depan rumahnya. Dia kaget ketika melihat halaman rumah telah rapi. Bu Wury lebih terkejut lagi ketika melihat seorang anak kurcaci duduk di bangku taman.
“Kamu yang mengerjakan semua ini?” tanyanya heran.
“I...iya, Bu,” jawab Lola dengan suara gemetar takut kalau Bu Wury marah.
“Kenapa kamu bersihkan halamanku?” tanya Bu Wury curiga.
“Maaf, Bu, tadi saya lihat halaman ini kotor sekali. Jadi, saya bersihkan,” ujar Lola.
Dia terdiam dan menundukkan sejenak, sambil menggigit bibir gelisah. "Sebenarnya saya ingin beli kue coklat Ibu, tapi cuma punya uang sedikit. Ditambah kerja saya tadi, bolehkah saya dapat kue?”
Lola mengeluarkan uang yang dimiliki dari saku. Bu Wury terpana sejenak dengan keberanian anak kurcaci itu.
“Siapa namamu?” tanya Bu Wury lembut.
“Lola, Bu,” jawabnya. “Saya sering melihat kue Ibu terpajang di etalase kue depan rumah ini. Saya pun pernah memakannya di pesta ulang tahun teman. Enak sekali.”
Bu Wury tersenyum. Hilang kesan pemarah yang selama ini muncul di raut wajahnya. “Lola, hari ini Pak Sampah memang sedang libur. Karena itu halaman rumah Ibu kotor. Terima kasih sudah membersihkannya. Tunggu sebentar.”
Bu Wury masuk ke rumah kemudian keluar sambil membawa sebuah kotak mungil. Dia memberikannya pada Lola sambil tersenyum. Hari itu Lola mendapat beberapa potong kue coklat dari Bu Wury.
“Ambillah roti ini. Simpanlah uang sakumu itu untuk keperluan lain. Jangan lupa cuci tangan sebelum makan. Tanganmu kotor sekali,” ucap Bu Wury.
“Tapi, Bu, Mamaku bilang aku harus bayar kalau beli sesuatu,” tolak Lola.
“Lain kali boleh Lola beli dengan uang sakumu. Sekali ini tak apa Ibu berikan gratis.”
“Hore, terima kasih, Bu!” sorak Lola. “Ehm, boleh aku bertanya sesuatu, Bu?”
“Apa itu?”
“Teman-temanku cerita kalau Ibu sering memarahi mereka kalau bermain di depan rumah Ibu. Boleh tahu kenapa?”
Bu Wury menarik napas. “Banyak anak yang tidak sopan di sini. Mereka suka bermain-main di depan dan merusak bunga-bunga. Bahkan ada yang mencoba mencuri kue yang Ibu taruh di meja dekat jendela.”
Lola mengangguk paham. Ternyata Bu Wury kesal dengan anak-anak yang nakal. Namun, dia mau berbaik hati dengan anak yang rajin dan jujur.
“Saya permisi, Bu, sudah sore. Mama pasti sudah menunggu di rumah,” Lola pamit.
“Sekali lagi terima kasih, Lola,” ujar Bu Wury sebelum Lola beranjak pergi.
Lola berjalan riang kembali ke rumah. Sekarang dia bisa bercerita pada teman-temannya tentang Bu Wury. Ternyata Bu Wury tidak seperti yang dibicarakan selama ini.
Dia kesal pada anak yang nakal, tapi ramah pada yang mengerti sopan santun. Siapa tahu setelah mendengar pengalaman tadi, teman-temannya yang nakal mau berubah menjadi lebih baik.
Komentar
Posting Komentar