Lobi Laba-laba menghela napas dengan mata berkaca-kaca. Dia memandang sekeliling dengan pandangan nanar. Langit-langit loteng rumah ini sudah penuh dengan sarang laba-laba. Tidak ada tersisa sedikitpun ruang kosong untuknya.
Lobi menyesali dirinya yang selalu terlambat dan menunda-nunda membuat sarang. Akibatnya, sekarang dia harus berkeliling rumah-rumah untuk mencari lokasi baru. Padahal, sudah banyak loteng rumah yang dijelajahinya, tapi belum ketemu tempat yang cocok.
Laba-laba mungil itu beranjak meninggalkan loteng. Musim hujan begini, serangga seperti mereka harus tekun mencari tempat tinggal baru. Kalau bukan musim penghujan, biasanya laba-laba membuat sarang di antara pepohonan. Tetapi, sekarang air hujan mengganggu pemukiman mereka.
Sebenarnya, Lobi justru lebih senang bermukim di pepohonan. Di sana udara lebih sejuk karena ada hembusan angin di antara dedaunan. Di tempat tersebut, dia pun bisa melihat pemandangan kehijauan yang menyejukkan mata.
Tetapi, itu hanya terjadi ketika musim kemarau tiba. Kalau pun hujan tercurah saat musim kemarau, Lobi masih sempat bersembunyi di antara pepohonan. Kemudian dia akan membangun sarangnya kembali ketika matahari bersinar.
Namun, sekarang, hujan turun hampir setiap hari. Hal ini membuat tubuhnya lelah karena bolak-balik membangun sarang baru. Agar tetap aman, maka dia harus masuk ke rumah dan membangun sarang di loteng.
Sekarang Lobi duduk kelelahan di samping tembok. Sudah empat loteng rumah yang dia jelajahi dan semuanya telah penuh. Entah kapan dia akan menemukan tempat yang nyaman. Mengingatkan hal ini, perlahan pandangan matanya mulai mengabur dalam genangan air.
Setelah cukup istirahat, Lobi kembali melangkah. Dia bertekad akan menemukan lokasi sarang yang nyaman. Setelah menemukannya, tubuh lelah Lobi ingin beristirahat melepaskan semua beban yang menghimpit.
Di ujung loteng rumah yang baru didatangi, matanya melihat secercah cahaya yang mengintip dari celah asbes berlubang. Cahaya itu terang benderang. Lobi mengintip dengan rasa ingin tahu dari celah asbes itu. Seketika dia tersenyum dan ide baru muncul di benaknya.
Badannya yang mungil berjalan menembus celah asbes. Semangat untuk kembali menenun sarang baru membuat rasa lelah menguap. Sekarang terbayang di pikirannya tempat hangat untuk beristirahat.
Dalam sekali lompatan, dia sudah berada di sebuah kamar yang berantakan. Ruangannya luas dengan jendela lebar yang membuat sinar matahari bebas menerobos masuk. Cat dinding yang berwarna biru langit membuat suasana kamar nyaman, walaupun ada banyak buku berserakan di lantai.
Lobi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tak diragukan lagi, ini tempat yang cocok untuk membangun sarang baru. Udaranya segar karena jendela terbuka lebar Hembusan angin pun terasa sampai ke dalam.
Di depannya, ada lemari baju setengah terbuka dengan beberapa helai pakaian berceceran keluar. Buku dan alat-alat tulis berserakan di atas meja belajar. Bantal dan seprei pun berserakan, bahkan selimut tergeletak di lantai. Mungkin tempat ini sudah lama tak dipakai.
Lobi langsung bergerak sigap ke sudut ruangan. Kaki-kakinya yang lentik segera menenun sarang baru. Sekarang dia bisa bekerja sambil tersenyum. Ternyata kesabaran dan dan ketekunannya akan terbayar lunas. Jerih payahnya mulai menunjukkan hasil memuaskan. Lobi yakin, laba-laba lain belum tentu mendapatkan tempat sebagus ini.
Sambil berdendang, dia terus menenun sarang baru. Hatinya seperti melonjak-lonjak karena sebentar lagi akan mendapatkan tempat impian di lokasi yang tepat. Kalau tinggal di ruangan begini, musim hujan tentu bukan jadi masalah.
Saking semangatnya berdendang, Lobi tidak mendengar bunyi pintu terbuka. Kemudian, hanya dalam selang waktu beberapa detik, terdengar pekikan yang memenuhi ruangan. Lobi hampir melompat kaget. Untung dia berpegangan kuat pada sarang, hingga tak jatuh terjerembab.
Lobi hanya melihat sekilas kalau ada seorang anak perempuan yang masuk ke kamar. Dia kaget dan langsung histeris melihat ada sarang laba-laba di sudut ruangan. Karena ketakutan, gadis cilik itu segera berlari ke dapur menemui Mamanya.
“Ma, ada hewan aneh di kamarku!" teriaknya.
Berdua mereka menuju ke kamar. Sesampai di sana, gadis cilik yang bernama Tania itu, langsung menunjuk ke sudut ruangan. Jarinya tepat tertuju pada Lobi yang sedang menunduk dengan kaki gemetar.
“Wajar ada sarang laba-laba di kamarmu.” Mama berujar sambil menatap putrinya. “Serangga senang tinggal di kamar berantakan begini. Coba tadi kalau tikus yang datang, Tania pasti lebih ketakutan. Sekarang ambil sapu!”
Sambil menunduk, Tania mengambil sapu dan memberikannya pada Mama. Melihat sapu terjulur ke arahnya, Lobi langsung berlari kembali ke loteng dari celah asbes. Dia masih sempat menghindar sebelum sarangnya terkena usapan sapu.
Dari celah asbes, dia melihat Tania membersih kamar. Mama menghukumnya tidak boleh bermain sebelum seluruh ruangan bersih. Selama ini, gadis cilik itu malas merapikan kamarnya dan selalu banyak alasan kalau disuruh. Karena kedatangan Lobi, dia jadi ketakutan mulai membereskannya.
Lobi duduk seorang diri dan mulai sesenggukan. Berapa rumah lagi harus dikunjungi agar dapat tempat yang tepat? Hari hujan begini pasti banyak laba-laba yang berebutan untuk mendapatkan lokasi nyaman. Sekarang mungkin sudah terlambat untuk menemukan lokasi yang tepat.
“Kenapa menangis?”
Lobi kaget dan menoleh. Di belakangnya ada seekor laba-laba yang gemuk dan tinggi. Wajah laba-laba itu bingung melihat raut muka Lobi yang muram.
“Kenalkan, aku Wilo. Dari kemarin kulihat kamu mondar-mandir berkeliling loteng. Aku segan menyapa karena kamu diam saja. Padahal kami semua di sini sering mengobrol bersama. Kamu hanya menyendiri. Sekarang kamu malah menangis pula. Ada apa?” tanya Wilo.
Di antara sedu-sedan, Lobi menceritakan usahanya yang sia-sia untuk mencari tempat membangun sarang. Semua lokasi loteng sudah penuh, dia bingung mau mencari ke mana lagi.
Woli tersenyum mendengar cerita teman barunya. “Lobi, kenapa kamu tidak bertanya dulu? Di sini masih banyak tempat luas dan nyaman untuk membuat sarang. Kami memang sudah menyediakannya kalau ada laba-laba baru yang datang. Kamu, sih, enggak mau bertanya.”
"Aku enggak ada kenal siapa pun di sini. Mau bertanya sama siapa?" ujarnya dengan suara lirih.
“Itulah gunanya berkenalan. Aku juga masih baru di sini, tapi aku rajin menegur penghuni lama. Mereka ramah, kok. Yuk, aku kenalkan,” ajak Woli.
Woli benar. Kedatangan Lobi disambut hangat oleh laba-laba lain. Mereka sering melihat Lobi mondar-mandir tanpa pernah menyapa siapapun. Para laba-laba berpikir kalau Lobi enggan bergaul dengan warga loteng.
Teman-teman barunya mungkin tidak tahu kalau Lobi sebenarnya laba-laba pemalu. Dia lebih suka berdiam di sarangnya sambil menatap laba-laba lain yang berseliweran. Lobi bingung bagaimana harus memulai pembicaraan dengan kawan-kawan baru.
Akan tetapi, mulai sekarang Lobi mau belajar untuk bertegur sapa dengan laba-laba lain. Kawan-kawan barunya memang menyenangkan, mereka suka berbagi cerita dan pengalaman. Apalagi karena bantuan mereka sekarang Lobi mendapatkan lokasi sarang yang luas dan nyaman.
Komentar
Posting Komentar