Langsung ke konten utama

Postingan

Keluarga Hutan Rimba

Di dalam sebuah hutan rimba, tinggallah seekor harimau yang sudah tidak memakan daging lagi. Harimau itu berbeda karena enggan memangsa hewan-hewan lain. Menurut cerita yang beredar, hewan-hewan hutan menemukannya sendirian ketika masih kecil. Tanpa ibu, dia berkeliaran ketakutan mengelilingi belantara. Ada dugaan, ibu harimau sudah mati, maka tinggallah anaknya sendirian. Awalnya, hewan-hewan hutan ketakutan melihatnya. Namun, anak harimau menangis kelaparan. Akhirnya, semua hewan menjadi iba.  Dipimpin oleh kancil,  mereka menemui harimau mungil. Ternyata hewan loreng itu senang melihat teman-teman barunya.  Para hewan hutan merawat harimau seperti anak sendiri. Harimau pun mengikuti semua kebiasaan mereka. Setiap hari, dia ikut memakan dedaunan dan umbi-umbian.  Sekarang harimau menjadi sahabat penghuni hutan.  Pada suatu hari datanglah monyet dengan tergesa-gesa. "Apa kalian sudah mendengar kabar dari hutan seberang?” "Kabar apa?" tanya hewan-hewan lain...

Hujan di Desa Kurcaci

  Peri Vivi sedang menjalankan tugasnya menurunkan hujan di desa Kurcaci. Sekarang dia akan menaburkan bubuk awan tepat di atas desa. Vivi pun mulai terbang ke langit sambil berdendang riang.  Dia terus terbang sembari menaburkan bubuk warna-warni berkilauan. Setelah bertaburan di udara, bubuk-bubuk tersebut berubah warna menjadi kelam. Tak lama kemudian, terbentuklah awan pekat yang menurunkan hujan. “Terima kasih, Vivi!” Warga desa Kurcaci bersorak gembira menyambut turunnya air dari langit.   Musim kemarau telah berlalu. Musim hujan mulai menyapa dan saatnya kembali bercocok tanam. Desa Kurcaci yang subur mampu menghasilkan beragam hasil bumi yang laris dijual di pasar negeri Fantasi.  “Besok aku datang lagi,”  ujar Vivi sambil melambai pergi.  Dia senang melihat sambutan teman-temannya. Senyuman mereka membuat Vivi semakin semangat bekerja. “Kami tunggu!” teriak Fedo Kurcaci, salah seorang warga.  Esok hari Vivi menepati janjinya datang ke des...

Erina dan Boneka-boneka Etalase

    Prang! Erina memandang celengan tanah liat berbentuk ayam yang pecah berserakan di lantai.  Beberapa lembar uang logam dan kertas bertaburan. Dia mengutip dan  menghitung jumlah uang yang berceceran di lantai. Dia terpekik riang setelah sampai pada lembaran uang terakhir. Rencananya untuk membeli boneka baru segera terwujud. Dengan telapak tangan membawa segepok uang, dia segera mendatangi Mama.   "Ma, tukar recehanku ini dengan uang besar, boleh? Kalau dibawa begini, nanti bertaburan di jalan." Mama tersenyum sambil mengambil dompet. Beliau menyerahkan uang kertas sesuai dengan jumlah celengan Erina. Wajah puteri cilik itu semakin berbinar dengan lembaran uang di tangannya. "Ma, sekarang aku pergi dulu ke toko Bu Wijaya,"  celotehnya riang.  "Mau beli boneka seperti yang pernah kuceritakan." " Hati-hati di jalan, ya," Mama mengingatkannya. "Kalau ada apa-apa, langsung saja tanyakan pada Bu Wijaya." Toko serba ada Bu Wijaya hany...

Angin, Awan, dan Matahari

  Sore ini, Angin sedang bertiup di langit biru. Sejauh mata memandang, hanya dia yang berseliweran di sana. Bosan bergerak sendirian, Angin mencari teman-temannya menuju desa sebelah timur.   Saat tiba di sana, dia melihat Awan sedang menurunkan hujan. Angin mengamati suasana desa yang damai dan sejuk dengan guyuran air dari langit. “Awan, boleh aku ikut berembus di sini?”  tanya Angin.  “Kayaknya kurang seru kalau hujan tanpa angin.” “Tentu saja boleh,”  jawab Awan sambil tersenyum. Angin pun segera bertiup kencang melewati pemukiman penduduk. Wusss !  Wusss ! Pohon-pohon bergoyang. Atap rumah berderak-derak. “Apa yang kamu lakukan?” Awan kaget melihat gerak-gerik kawannya. “Kamu berembus terlalu kencang.” “Ini supaya suasana lebih ramai. Aku suka melihat dedaunan pohon bergoyang-goyang ketika melintas,” jawab Angin sambil terus berputar-putar. “Tapi, caramu itu membahayakan,” ucap Awan kesal.  “Bagaimana kalau tiba-tiba ada pohon tumbang dan me...

Coklat Hilang

Nindy mengubek-ubek isi kulkas dengan rasa penasaran.  Kemana coklatnya? Padahal kemarin masih tersusun rapi di sini. Kok, sekarang hilang? Sudah berulang kali dia membongkar barisan makanan dalam kulkas. Namun, yang dicari belum juga ditemukan. Dengan perasaan kesal, dia berlari menuju ruang keluarga. " Dira, Zinka, dimana coklat Kakak? Kok, bisa hilang?" tanyanya kepada kedua adik yang menonton televisi sambil mengudap cemilan. " Nggak tahu!" Keduanya menjawab tanpa melepaskan pandangan dari layar kaca. "Nggak  tahu, gimana? Jelas salah satu dari kalian yang mengambilnya.  Siapa lagi? Papa, Mama, dan Bik Inah tidak suka coklat. Di rumah ini cuma ada kita," jawab Nindy sengit.  Memang kemarin Papa membawakan tiga bungkus coklat merek terkenal untuk mereka. Semua kebagian. Masalahnya, sekarang coklat milik Nindy tidak ada di kulkas. " Kak, jangan nuduh sembarangan." Dira mulai sewot. " Iya, jangan gitulah, Kak. Yang dimakan kemarin m...

Kisah Bunga Mawar

Dari beragam tanaman yang tumbuh di halaman rumah, Mawar merupakan bunga terindah. Karena keindahannya, teman-teman bunga lain sering memuji. “Mawar, kelopakmu sangat merona.  Cantik!  Kamu pasti bangga memilikinya,” kata Lili. “Ah, kamu juga tidak kalah cantik, kok, Lili,” jawab Mawar merendah. “Tapi, kamu berbeda, Mawar. Hampir semua orang mengenal bunga Mawar. Kalau kami belum tentu dikenali,” kata Anyelir. “Kebetulan banyak saudaraku   tumbuh di berbagai tempat. Jadi orang lebih mudah melihat dan mengenali kami,” Mawar tetap menjawab dengan tenang dan lembut. Walaupun Mawar tahu bahwa dia indah dan dikagumi orang, tapi bunga tersebut tidak pongah. Oleh sebab itu, bunga-bunga lain tetap senang berteman dengannya. Akan tetapi, hari ini terjadi sesuatu yang kurang mengenakan.  Mawar melihat bunga-bunganya mulai layu, menguning, dan kemudian gugur.   Awalnya Mawar sedih, meskipun cuma sebentar. Dia sudah biasa melihat bunganya layu. Nanti akan bertumbuh lag...